Tampilkan postingan dengan label cerpCERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpCERPEN. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Januari 2013

MY STORY TELLING


THE THREE BEARS

here once lived a little girl who was called Goldilocks because her hair shone like gold. She was very fond of wild flowers and often went into the woods to pick them.





One day she walked and walked, and was soon a longer way from home than she had ever been before. In fact, she was lost. But she hurried on, hoping to meet someone who might be able to tell her how she could get home.

On and on she wandered and finally in a particularly lonely spot she happened onto a neat little house. It was really the house in which lived the three bears — the Papa Bear, the Mama Bear, and the little Baby Bear — but of course Goldilocks didn’t know that.

The little girl went up to the door and knocked. There was no answer. She knocked again. Still no answer. And so she opened the door and went in. She was very tired and hungry.



Goldilocks looked around, and saw a little table set with a nice white cloth, and on the table were three bowls — a big blue bowl, a middle-sized bowl, and a little yellow bowl. These three bowls belonged to the Papa Bear, the Mama Bear, and the Baby Bear.

Goldilocks lifted up the covers to look into the bowls. Each was full of delicious-smelling porridge which the three bears had left there to cool while they went for their early morning walk in the woods. Later they would return for a hearty breakfast.

Goldilocks picked up the spoon which was in the big blue bowl and tasted the porridge belonging to the Papa Bear. It was very hot, much too hot for the little girl to eat.



The little girl then turned to the red bowl and tasted the porridge that belonged to the Mama Bear. It was much too cold.

But there was still another bowl, and Goldilocks dipped her spoon into the porridge in the little yellow bowl, the one that belonged to the Baby Bear. How good that porridge smelled!

Goldilocks tasted it. Um-m-m-m! It was just right, and so she ate and ate and ate until there was not a bit of porridge left in the Baby Bear’s little bowl.



After having eaten, Goldilocks wandered into the living room to sit down. There along the wall stood three chairs — a big chair, a middle-sized chair, and a little chair.

She tried the big chair, which belonged to the Papa Bear, but it was too high, much too high for such a little girl.

Then she tried the middle-sized chair, which belonged to the Mama Bear, but it was too wide, much too wide for Goldilocks.

There was still a third chair, the one that belonged to Baby Bear. It was a cozy little chair with a green leather seat, and it looked like a very good chair for a tired little girl to rest in.



And so Goldilocks sat down in the Baby Bear’s chair. It was just right, and she sat so hard that she broke it. The little girl got quite a surprise when she tumbled to the floor, but she immediately picked herself up and decided she would go upstairs and look around. She was quite sleepy by now, and maybe she could find a nice bed upon which to lie down.

Then Goldilocks climbed the stairs to the bedroom, and there found three beds — one for the Papa Bear, one for the Mama Bear, and one for the Baby Bear. They were all fresh and clean.

Goldilocks lay down on Papa Bear’s great big bed, but it was too hard.

Then she tried Mama Bear’s middle-sized bed, but it was much too soft.

There was still a third bed — Baby Bear’s bed — with a pink and white spread on it. Goldilocks tried the littlest bed, and it was just right, and so she curled up and was soon fast asleep.

Now while Goldilocks was sleeping, the bears came home from their walk.

They were very hungry and went at once to the kitchen to eat their porridge.

The Papa Bear had picked up his spoon and was about to begin eating when he suddenly growled in his big-bear voice, “Somebody has been tasting my porridge!”

When the Mama Bear saw her bowl, she said in her middle-sized bear voice, “And somebody has been tasting my porridge, too!”

Baby Bear saw his empty bowl, and began to cry. “Somebody has been tasting my porridge, and has eaten it every bit!” he wailed.



Then the three bears went into the living room to sit down and rest.

Papa Bear noticed that his chair had been pulled out of its usual position.

“Somebody has been sitting in my chair!” he grumbled in his gruff voice.

“And somebody has been sitting in my chair!” said Mama Bear.

Baby Bear began crying harder than before. “Somebody has been sitting in my chair and has broken it all to pieces!” he sobbed.



Baby Bear had no chair to sit on, and so the three bears decided they would go upstairs to rest. They would take a short nap.

As they entered the bedroom Papa Bear glanced at the big bed. “Somebody has been tumbling in my bed!” he growled.

“And somebody has been tumbling in my bed!” said Mama Bear in her turn, walking over to the middle-sized bed and carefully smoothing the spread, which was quite rumpled.

All this time Baby Bear had been staring hard at his own little bed. Finally he found his voice and piped up, “Somebody has been tumbling in my bed, and here she is!”



At the sound of the Baby Bear’s voice the little girl awoke with a start. She sat up and glanced about her. Then she sprang out of bed, and dashed down the stairs and out of the house as fast as her legs would carry her.

And Goldilocks never, never went near the house of the three bears again.









Powered By Facebook

Sabtu, 08 Desember 2012

CERPEN CINTA REMAJA


Cerpen Cinta Remaja: AKHIR SEBUAH PENANTIAN



Aku hidup bukan untuk menunggu cintamu.
Sulit ku terima semua keputusan itu.
Yang kini hilang tersapu angin senja.
Masih sulit pula untuk ku lupakan.
Suram dan seram jika ku ingat kembali.
Mungkin harus ku biarkan semua kenangan itu,
agar abadi oleh sang waktu.

Pagi ini cerah, hangat mentari yang bersinar dan sejuk embun di pagi itu membuat semangat untuk menuntut ilmu makin bertambah. Ku percepat langkahku. Seusai sekolah, ada ekstrakulikuler seni tari dan aku pun mengikutinya. Masih belum beranjak dari tempat duduk ku. Dari arah belakang terdengar suara yang memanggilku.
“Idaaa, tunggu !”

Aku pun melihat ke belakang “Kamu Raff, ada apa kok sampai tergesa-gesa ?” tanyaku penasaran.

“Emmm, ada yang mau kenalan sama kamu !”

“Tapi Raff, udah mau masuk kelas seni tarinya”

“Ya telat dikit kan gakpapa”.

Aku tidak menjawabnya. Aku bergegas pergi menuju kelas seni tari. Aku simpan kata-kata Raffi tapi aku tidak memikirkannya disaat aku sedang mengikuti seni tari.

***
Hari ini aku sengaja berangkat pagi, aku ingin menikmati udara pagi, walaupun jarak antara rumah dan sekolah dekat. Sewaktu istirahat aku kembali ingat dengan kata-kata Raffi kemarin siang. Siapa dia? Anak mana? Namanya siapa? Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di benakku. Hingga aku tak sadar jika aku sedang melamunkannya.

“Heyhey, mikirin siapa sih kamu?” Tanya Ega yang membuyarkan lamunanku.

“Ha? Aku gak mikirin apa-apa tuh!”

“Kok ngelamun sih? Haaa, masih keinget ya sama kata-kata Raffi kemaren?”

“Ehh, apaan sih, mentang-mentang pacar Raffi trus kalian ngejek gitu, ahh gak asyiik”

“Yaya, Cuma bercanda kok”

Tiba-tiba Raffi datang menemuiku. Entah apa lagi yang akan ia sampaikan kembali. Aku sendiri tidak berharap jika kata-kata itu lagi yang akan ia sampaikan.

“Daa, ikut yuk, dia mau ketemu kamu, tuh udah ditunggu di kantin” ajak Raffi.

“Ahh, engga ahh, biarin aja dia samperin”

“Kok gitu? Ya udah deh, ini kesempatan loh, kok malah kamu sia-siain” Ucapan Raffi didengar oleh Layla, yang juga saudara Raffi.

“Ehh, ada apaan nih, keliatannya seru! Ada apa sih Raff, kok gak bilang-bilang?”

“Gak ada apa-apa, udah nanti aku ceritain”

Bel masuk kelas pun berbunyi, aku segera masuk kelas. Dan aku mengikuti pelajaran yang berlangsung hingga usai. Pulang sekolah biasanya aku jalan sendiri, jarak rumah deket.

“Ciiye Idaa” goda Layla

“Ada apa sih?” tanyaku penasaran.

“Tuh, orang yang di depan gerbang pake tas item ada corak biru, itu orang yang mau ketemu kamu.”

“Ha? Siapa dia? Namanya siapa?”

“Dia Tyo, anaknya pendiem banget, dia sahabat karib Raffi sama Adi”

Tanpa kata-kata apapun aku bergegas pulang, dalam perjalananku aku memfikirkan semua hal yang Layla beritahu tadi. Yah, Tyo, aku masih tidak menyangka kenapa dia mau bertemu, kenapa harus lewat temennya? Ah mungkin dia malu. Ya udahlah.

***
Hari ini mulai muncul kabar buruk, banyak yang menyangka bahwa aku ini adalah pacar Tyo, padahal bukan sama sekali. Aku kenal sama dia aja baru kemarin. Di sela-sela pelajaran aku gunakan untuk menuliskan sebuah kata-kata. Sepertinya aku memang benar-benar jatuh hati pada Tyo, “ahhh, kenal langsung aja belum kayaknya mustahil deh” kata itu selalu muncul di benakku.

Saat jam istirahat, aku selalu melewati kelasnya. Aku selalu melihat tingkah lakunya, yang terkadang membuatku tersenyum-senyum sendiri. Oh mungkin inikah cinta? Aku pernah merasakannya tetapi aku tak ingin merasakannya lagi untuk saat ini.

Setelah kita kenal begitu lama, aku mengenal dia dengan ramah, dengan baik, walaupun diantara kita tak pernah ada satu perkataan. Tiba-tiba semua perasaanku menjelma, berubah entahlah seperti apa isi otakku. Aku menyukainya, aku menyayanginya. Aku yakin dia pun begitu, tapi aku tidak pernah pecaya itu, aku tidak pernah percaya bila ia menyukaiku juga, aku hanya berharap begitu banyak padanya.

Hari ini ekstra pramuka sebenarnya, aku sama Tyo mau bicara tapi dia tetap tidak mau. Dia tetap tak membuka kesempatan untuk perasaan kita. Tapi aku masih yakin bila dia benar-benar mencintaiku. Sore itu aku hanya pulang dengan semua mimpi ku yang telah pupus. Aku tak membawa secuil harapan lagi untuk rasaku ini.

***
Malam ini aku tulis surat untuk nya. Aku harap ada sedikit respon darinya. Dan respon itu tidak membuatku patah hati dan patah semangat. Aku tahu Tuhan pasti mengerti disetiap mimpi dan harapanku.

Setelah selesai aku pun tidur. Hari ini aku sengaja bangun pagi, selain aku piket aku juga ingin melihatnya lebih awal, hehe. Aku datang pertama di sekolah, datang pertama juga di kelas, aku langsung piket, bersihkan semuanya. Setelah selesai, aku kasih surat itu langsung ke dia. Aku tak pernah mengira hal buruk apapun akan menimpa kita setelah surat itu kau baca. Tiba-tiba Imma datang mengetuk pintu kelasku. Dia meminta ijin dahulu, lalu memanggilku untuk menemuinya. Aku yang bingung, langsung saja aku menurut.

“Nich surat dari Tyo!” kata Imma sambil memberikan surat dari Tyo.

“Apa ini? Jawaban suratku tadi pagi ya?”

“Iyaa, baca aja, dia bilang dia minta maaf kalo udah nyakitin perasaan kamu, dia gak bermaksud kayak gitu, ya udah baca aja.”

“Iyaa, makasiih udah ngaterin suratnya, aku titip salam buat dia”

Seketika aku menangis, air mata ini sudah tak bisa ku tahan lagi. Tetes demi tetes mulai membasahi wajahku. Lalu ku hapus lagi begitu pun seterusnya. Aku masuk kelas dan aku lanjutkan pelajaran yang sempat tertunda, aku anggap saja ini semua tidak pernah terjadi.

“Ada apa sih, Yuk?” Tanya Ega.

“Di.. dia.. dia udah jawab semuanya” kataku terbata-bata

“Jawab apa? Bukannya diantara kalian itu tak pernah ada apa-apa?”

“Dia gak suka aku Ga, aku sih fine tapi kenapa sih yang nganter harus Imma, dulu pas kamu sama Raffi putus, Imma juga kan yang nganter?”

“Iya ya, kok aku lupa ya? Ya udah deh, kamu yang sabar aja, cowok itu gak Cuma satu kok, gak Cuma dia doang”

“Iyaa Ga, makasiih” jawabku sambil mengusap air mataku

“Iya sama-sama”

***
Sulit menjalani hari tanpanya lagi, walaupun kita hanya sebatas gebetan, tapi ternyata hal itu membuat kita menjadi bersahabat. Berbulan-bulan aku nanti jawabanmu lagi. Tapi ternyata jawaban itulah yang sudah kamu tetapkan. Aku hanya pasrah, aku menangis, bagaimana tidak jika seseorang yang aku sukai ternyata telah membuatku menangis.

Aku berharap suatu saat nanti Tuhan mempertemukan kita, dan Tuhan izinkan kita bersama. Jika Tuhan tidak mentakdirkan kita bersama biarlah perasaan itu menjadi sebuah kenangan masa SMP kita.


*THE END*


Powered By Facebook

CERPEN REMAJA-PENYESALAN



PENYESALAN
Karya Tri

Umurku dengan kaka tidak terpaut jauh, hanya berbeda 2 tahun. Kami sekarang sudah pada jenjang sekolah menengah akhir, kakak kelas 3 dan aku kelas 1 dengan sekolah yang sama. Kaka memang lebih pintar dariku dan itu menjadi salah satu hal yang dapat membuat ayah bangga. Ayah selalu membanding-bandingkan kami sejak kecil. Usaha sekeras apapun untuk membuat ayah bangga padaku tidak dapat merubah semuanya. Perbedaan itulah yang membuat kakak menjauhiku dan menganggap aku tidak pernah ada. Kakak jarang berbicara denganku, dia hanya berbicara seperlunya denganku. Disekolahpun, sempat kita bertemu kakak sama sekali tidak pernah menyapaku. Aku hanya tersenyum dengannya. Ayah selalu menganggapku tidak pernah ada didunianya, tidak pernah melihatku bahwa aku selalu ada.

Ayah hanya bersikap masa bodoh saat menunjukan sertifikat dari sekolah sebagai lulusan terbaik di sekolahku dulu sebelum memasuki sekolah sekarang. Tidak seperti sikap ayah pada kakak saat itu juga menerima lulusan terbaik. Ayah memberika pujian yang begitu membanggakan diri kakak, kakak boleh meminta apapun yang dia minta.
“pertahankan belajarmu, kakakmu masih dapat lebih dari itu” kata ayah
Perkataan itu membuat hancur semua usaha aku selama ini. Aku sudah belajar mati-matian untuk meraih semua ini agar ayah melihatku bahwa bukan kakak saja yang akan menjadi anaknya masih ada anaknya yang sedang menunggu sebagai incaran matanya.
Kehadiran ibu yang selalu menjadi penyemangat dalam hidup. Ibu selalu mengerti dan memahami apa yang aku rasakan selama ini. Ibu selalu memberi motivasi untu tidak menyerah. Hidup selalu berjalan, suatu saat nanti ayah akan sadar bahwa aku ada untuk ayah.
Pagi ini aku dan kakak berangkat kesekolah. Kami selau berangkat dan pulang bersama diantar oleh pak robi supir kami. Kami mencium tangngan kedua orangtua kami untuk berpamitan berangkat ke sekolah. Ayah mencim kening kakak setelah mencium tangan ayah, namun tidak denganku hany ibu yang mencium keningku.



Pak doni guru matematikaku mengisi pelajaran pertama dikelasku hari ini. Pelajaran yang membuat otak anak-anak di kelasku menjadi panas. Bel untuk istirahat telah berbunyi. Aku dan teman sebangkuku pergi kekantin untuk mengisi perut dan merefresh otak gara-gara pelajaran tadi.
“akhirnya terbebas dari angka-angka yang membuat pusing” kata Rita sambil duduk di kursi kantin
“baru pemanasan aj sudah pusing apalagi kalo sudah tahap yang paling berat pasti mulai ubanan tuh rambut” candaku
“mungkin....kamu sih gampang...otak kamu udah diseting untk menerima pelajaran dengan mudah...lain dengan otakku yang isisnya Cuma pulang....pulang...dan pulang”

Aku hanya tersenyum mendengar ocehannya. Rita pergi membeli minuman. Aku masih duduk ditampat yang sama karena masih bingung ingin membeli apa. Aku mendengar ada keributan di tempat rita membeli minuman. Aku mulai mendekat ketempat tersebut. Rita sedang duduk di lantai sambil ketakutan. Aku menyuruhnya untuk berdiri dan menanyakan apa yang terjadi.
“oh...jadi itu teman kamu” kata suara cewek yang aku kenal
“kakak” aku memandanginya
“bilang ketemanmu untuk hati-hati, jangan sampai terulang kembali...ayah akan tahu hal ini dan kamu siap-siap untuk dimarahi ayah” kata kakak sambil meninggalkan kita
Rita menceritakan kejadian tadi. Dia tidak sengaja menumpahkan minuman kebaju kakak. Saat Rita berbalik kakak tepat berada di belakangnya dan minuman itu tumpah begitu saja di seragam kakak. Selain pintar kakak juga menjadi ketua osis, maka kakak menjadi “peran utama” disekolah kami. Sikap kakak yang sering bersikap bahwa sekolah ini seperti miliknya, membuat siswa dan siswi takut padanya. Kakak selalu dikelilingi oleh 2 teman ceweknya yang selalu nurut apa yang diperintahkan oleh kakak.
Pulang sekolah ini aku dan kakak menunggu pak robi menjemput kami. Seragam kakak masih kotor gara-gara minuman rita yang tumpah tanpa dia sengaja. Kakak terlihat masih marah dan siap-siap untuk bilang pada ayah. Pak robi sudah datang untuk menjemput kami.

Siang ini masih aman dari cengkraman tangan kakak, karena ayah masih dikantor. Haya ada ibu dirumah. Kakak tidak bercerita pada obu tentang kejadian tadi. Kakak pasti tahu ibu tidak mungkin memarahaiku karena ibu selalu mendengar terlebih dahulu penjelasanku sebelum menyalahkanku. Suara mobil ayah digarasi membuat senyuman kakak mengembang disore mendung ini. Aku, ibu dan kakak sedang melihat tv. Ayah menghampiri kami, ibu membawakan tas dan jaz ayah kekamar. Lagi-lagi ayah hanya menyapa kakak padahal ayah pasti tadi melihatku yang ada disitu tapi ayah pura-pura tidak melihatku.
“bagaimana sekolah hari ini” tanya ayah pada kakak
“buruk yah” jawab kakak
“lo kok buruk kenap memangnya cerita dong sama ayah”
“tanya aja ke vanya”
“vanya...hubungannya apa dengan vanya” ayah masih menanyai kakak
“tadi....seragam vani terkena minuman temannya vanya saat dikantin dan itu membuat seragam vani jadi kotor...vani malu yah masak seorang ketua osis dibuat malu sama anak kelas satu apa kata anak-anak yang lain...pasti mereka pada netawin vani yah” cerita kakak
“bener itu...temen kamu sedah menumpahkan minuman keseragam kakak kamu” tanya ayah padaku
“iya...tap kan...”

Sudah beruntung kamu menjadi adik seorang ketua osis...tapi kamu malah membuat kakak kamu malu didepan teman-temannya...sekarang kamu hanya bersikap seperti tidak terjadi apa-apa” kata ayah yang mulai memarahiku
“ada apa ini yah” tanya ibu yang baru datang menghampiri kami
“teman anak kamu ini sudah membuat malu kakaknya di depan temannya dengan menumpahkan minumannya keseragam vani”
“sudahlah yah jangan memperpanjang masalah, pasti teman vanya juga gak sengaja...ya kan vanya”
“percuma bu...vanya menjelaskan yang salah ataupun yang benar sekalipun tidak akan membiat ayah mengerti ...karena selama ini hanya kakak dan kakak yang menjadi anak ayah...jadi hal yang benarpu dianggap salah oleh ayah” kata ku sambil berdiri
“dasar anak tidak tahu diuntung”

Ayah berdiri dari sofa dan hendak menamparku tapi ibu menghalanginya. Aku terpaku melihat sikap yah malam ini. Air mataku mulai menetes dan berlari menuju kamar. Entah bagaimana selanjutnya yang terjadi di luar. Aku membungkam suara tangisanku dengan bantal sambil berbaring diatas ranjang agar tidak terdengar dari luar. Ibu membuka pintu kamarku dan mencoba untuk menghiburku.
“sudah sayang...jangan menangis lagi masih ada ibu yang siap membela dan selalu berada disamping kamu”

Aku tetap menangis melampiaskan segala beban dan masalah yang ada. Ibu masih disampingku untuk menghaburku. Tangisanku mulai berhenti dan mendekap kepelukan ibu.
“apa vanya salah telah mengucapkan semua vanya rasakan” kataku
“nggak sayang...kamu gak slah kok”
“tapi kenapa ayah sampai berbuat seperti itu...apa yang membuat ayah tidak pernah melihat kearah vanya bahwa vanya selalu ada dihadapan ayah dan hanya kakak yang selalu menjadi incaran mata ayah”
“kamu harus bersabar...suatu saat semua yang kamu inginkan akan terjadi...ayak akan melihat kamu sebagai vanya...anaknya yang dia sayang dengan cahaya yang sangat terang”kata ibu sambil melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku
“apa jadinya vanya tanpa ibu”
Malam ini membuat aku untuk menerima semuanya dan mencoba untuk melupakannya. Aku meminta maaf pada kakak dihadapan ayah. Kakak hanya memberikan senyuman kemenangan atas semua yang dia lakukan. Ayah dan kakak meninggalkanku yang masih berdiri. Kakak memang sudah membalas jabatan tanganku tapi ayah tetap bersikap sinis setelah kejadian tadi.
Pukul 6 pagi ayah sudah siap-siap untuk pergi ke bandung karena ada klien yang ingin bertemu dengan ayah. Ibu menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan oleh ayah. Kakak dengan wajah yang muram, membujuk ayah untuk tidak berangkat. Tapi ayah dengan rayuannya bahwa apapun yang kakak pinta akan ayah berikan sepulang dari bandung. Wajah kakak langsung berubah saat ayah berjanji seperti itu. Aku, ibu dan kakak mengantar ayak ke garasi. Ayah mencium kening ibu dan kakak setelah bersalaman dengan ayah. Aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman dengan ayah, namun ayah bersikap acuh dengan tidak melihat kearahku dan menolak uluran tanganku. Ibu mencegah ayah yang sedang menaiki mobil untuk menjabat tanganku. Tapi ayah tetap tidak menghiraukannya. Ayah pergi dari pandanganku semakin jauh dan jauh.

Ibu menyuruh kakak untuk berangkat ke sekolah bersamaku, karena kakak dijemput sama teman-temannya. Kakak menolak dengan beribu alasan. Akhirnya aku mengalah untuk naik angkot. Sampai disekolah banyak anak yang berkumpul didepan mading. Aku menghampirikerumunan itu dan melihat tulisan yang sangat besar.
“vanya dan rita kelas 1 B adalah pecundang”

Anak-anak melihatku dengan wajah yang penasaran. Aku tidak tahu yang siapa yang tega menulis seperti itu. Kertas itu aku sobek dan menanyakan secara lantang siap yang menulisnya.
“aku” kata suara di seberang
“kakak” aku melihat kakak dan temannya menghampiriku
“huh...kenapa kagetya”

Aku pikir masalah ini sudah berakhir...karena aku sudah meminta maaf...walaupun aku merasa tidak bersalah”
“trus apa dong namanya...kalo seorang vanya yang rela meminta maaf ke kakaknya hanya karena kasih sayang seorang ayah itu namanya apa....kalo bukan...pe...cun..dang...udahlah ya gak penting juga ngurus pecundang kayak dia....yuk capcus” kata kakak sambil meninggalkanku
“tunggu...memang hanya kakak yang membuat bangga ayah dengan segala kelebihan kakak...tapi suatu saat aku akan menjadi lebih membuat bangga dengan kekuranganku”
Kakak tidak menghiraukanku dan terus berjalan meninggalkaku, semua anak-anak mulai meninggalkanku satu-persatu. Rita menghampiriku mencoba untuk menghiburku.

Dua hari sudah ayah pergi keluar kota dan kata ibu nanti malam ayah sudah kembalilagi ke rumah. Kakak sudah tidak sabar menanti kepulangan ayah. Dia terus saja menunggu ayah mulai ruang tamu sampai depan rumah. Nmun ayah belum juga menunjukan kepulangnnya. Ibu mulai khawatir karena tadi ayah telepon sudah berada didekat rumah, tapi kenapa belum juga pulang kerumah. Tidak lama kekhawatiran mengenai ayah, telepon rumah berdering membuat kecemasan semakin meninggi.
“hallo”
“dengan ibu anita”
“benar saya sendiri”
“ini dari rumah sakit cinta ingin mengabarkan bahwa suami ibu mengalami kecelkaan dan sekarang dimohon kedatangan keluarga pak surya ke rumah sakit”

Kami segera datang kerumah sakit cinta tempat ayah dirawat. Baru kali ini akau melihat kakak menangis. Sekarang yang aku rasakan adalah perasaan diman seorang anak ingin menggantikan posisi seorang ayang yang sakit. Agar aku yang sakit bukan ayah. Kami melihat dokter keluar dari kamar rawat ayat. ibu menanyakan keadaan ayah pada dokter. Beliau terdiam sejenak, seakan ada berita buruk yang akan disampaikan. Tapi saat dokter handak menjawat pertanyaan ibu, suster memanggil dokter karena ayah sudah sadar. Dokter mengizinkan kami untuk masuk kedalam.
“kenapa semua gelap...ibu..vani”kata ayah
“ayah ini ibu:
“bu kamu dimana trus vani juga kemana kenapa semua menjadi gelap begini...ayah tidak bisa melihat apa-apa bu...ayah tidak bisa melihat bu....ayah tidak buta kan bu...ibu jawab...bu”

Ayah histeris dengan keadaannya sekarang. Dokter menyuruh suster untik memberi suntikan obat penenangketubuh ayah, ayah yang tadi histeris mulai tenang dan tertidur. Dokter dan sister meninggalkan kami. Kakak keluar dari kamar rawat ayah karena tidak kuat melihat keadaan ayah sekarang. Ibu menyusulnya keluar dan aku mencoba berjalan pelan-pelah kearah ibu dan kakak.
“vani gak mau punya ayah buta seperti itu...apa kata teman-teman vani kalo ayah vani buta bu....ayah yang selama ini vani banggakan sekarang ayah tidak bisa berbuat apa-apa....vani malu”
“ternyata kamu malu mempunyai ayah yang buta seperti ayahmu yang sekarang....ayah lebih baik tidak ada lagi dikehidupan kalian” sahut ayah yang tiba-tiba datang dan mendengar percakapan kakak
Ayah pergi meninggalkan kita dengan berpegangan tembok dirumah sakit. Banya barang dan orang yang jatuh gara-gara ditabarak oleh ayah yang tidak dapat melihat. Aku menyusul ayah yang berjalan kearah luar rumah sakit. Ayah terus berjalan sampai keluar jalan dan banyak kendaraan yang berlalulalang disekitar sana. Ada 1 mobil yang semakin mendekat ke ayah yang sudah berada ditengah-tengah jalan. Aku menarik tangan ayah menuju samping jalan agar ayah selamt. Mobil itu kini mengenaiku dan membuatku tidak sadarkan diri.

Mataku antara ingin aku buka dan aku tutup. Aku melihat suster membersihkan darah yang mengalir dari tubuhku dan dokter sibuk memeriksaku. Tanaga yang tersisa aku kumpulkan untuk menyuruh suster memanggilakan kelurgaku yang pasti khawatir dengan keadaanku. Suterpun memanggil ibu, kakak dan ayah. Mereka sekarang berada disampingku.
“ibu.....ja...ngan...khawatir...vanya akan baik-baik saja....vanya....ingin...i..bu tersenyum...di harini....maaf....apabila...van...ya tidak bisa lagi menemai ibu dihari-selanjutnya”
“sayang...sudah ya kamu jangan bicara lagi...ibu yakin kamu masih tetap ada disamping ibu...lihat ayah sekarang ada disini dan juga kak vani...mereka mengangis ini gara-gara kamu....kamu pasti tidak ingin melihat kita menangiskan” isak ibu
“ayah....kakak...vanya...min...ta...maaf...kare..na...vanya tidak bisa menjadi anak dan a...dik seperti yang...ka..lian minta....hanya...dengan mata vanya....yang da...pat vanya be..rikan keyah...agar aya...h dapat membuat kakak bahagia kembali dan ayah dapat menjadi ayah yang dapat dibanggakan oleh kakak....ayah juga...da..pat...melih...at va...nya dengan mata vanya....dengan..cahaya yang terang”
“vanya....ayah mohon untuk pertam kalinya...kamu harus bertahan...karena ayah tidak mau meliahat kalo kamu tidak ada di samping kami...maaf kan ayah yang tidak pernah melihat kearah kamu...tapi sekarang ayah akan selalu melihat kerah kamu tanpa membedakakan kamu dan kakak kamu”
Ibu, kakak, dan ayah menangisiku yang sudah tidak berada disamping mereka. Operasipun berlangsung dan berhasil membuat ayah dapat melihat kembali. Mereka berpelukan dan menangis dalam kebahagiaan yang begitu indah. Walaupun aku tidak dapat bersama mereka, tapi aku dapat melihat kebahagiaan itu dari mataku yang ada ditubuh ayah. Aku dapat tidur dengan tenang selamnya dan akan selalu tersimpan dihati mereka.

“setiap anak memiliki caranya sendiri untuk membahagiakan orang tuanya sekalipun dengan cara diluar nalar manusia”
18 NOVEMBER 2012

PROFIL PENULIS
Tri Kurnia Wati nama panjangku dan cukup dipanggil Tri ....26 Juni 1998 tanggal lahirku...aku lahir dikota tercinta aku Sampang a Madur Jawa Timur...


Powered By Facebook

CERPEN KU

CINTA PERTAMA


Karya Tri Kurnia Wati

           Kriiiiinngg........ bel sekolah telah berbunyi. Itu tandanya saatnya siswa-siswi masuk ke kelas masing-masing. Dan seperti biasa, saat gerbang mulai ditutup sepedaku baru sampai didepan gerbang. Aku telat lagi... sungguh menjengkelkan








Untungnya guru yang jaga hari ini hanya memberi hukuman lari 2 putaran. Dengan janji bahwa aku tidak akan telat masuk sekolah. Mudah-mudahan saja bisa.

Keesokan harinya aku bangun pagi-pagi sekali supaya aku tidak telat. Daann.. akhirnya aku tidak telat.

“tumben kamu berangkat pagi?” sapa Anggi sahabat baikku.

“kebetulan ga ketinggalan kereta.” Candaku.


Pelajaran pertama hari ini cukup menyenangkan karena kimia adalah pelajaran favoritku. Tapi kali ini Bu Retno (guru kimia) tidak sendiri berjalan menuju kelas, tetapi bersama dengan seorang murid laki-laki yang kelihatannya asing di sekolah ini.

“anak-anak kita kedatangan teman baru. Namanya Arya” kata Bu Retno.

“nama saya Arya Pratama. Pindahan dari Bandung.” Ucap anak baru itu.

Aku heran, teman-temanku memandangnya dengan penuh rasa kagum. Memang sih wajahnya lumayan cakep, tapi percuma kalo hatinya ga setampan wajahnya. Ya semoga saja dia anak yang baik.


Dikantin sekolah tiba-tiba ada orang yang menyapaku.

“hay Anisa.” Katanya

oh ternyata yang memanggil adalah Arya anak baru itu.

“apa ? sok kenal bgt sih ?” jawabku ketus.

“iya emang aku pengen kenalan sama kamu.”

“oh.” Jawabku singkat.

“eemmmmtt boleh duduk disini ?” tanyanya sambil menunjukan kursi didepan ku.

“oh boleh duduk aja.” Kata Anggi.

Akhirnya kita bertiga pun menjadi sahabat. Gatau kenapa dia memilih bergabung dengan aku dan Anggi. Padahal disekolah ini banyak anak cowok yang lain.

“kalo temenan sama anak cewek lebih enak ngobrolnya.” Kata Arya.




3 bulan telah berlalu. Arya semakin dekat denganku. Awalnya aku cuek-cuek aja sama dia. Tapi setelah lama kenal sama dia , ternyata dia anak yang baik. Aku merasa senang jika ada disampingnya. Apakah ini CINTA .? oh tidak. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Aku tidak tahu persis cinta itu apa. Semoga perasaan ini cuma sebatas rasa kagumku ke Arya.

“anisa, nanti sore kamu ada acara gak ?” tanya Arya.

“gak ada kok. Kenapa ?”

“pergi yuk.”

“kemana ?” tanyaku heran.

“ke tempat yang indah.” Katanya sambil nyengir.

“gamau ah.” Jawabku cuek.

“ihh kug gtu sih ? udah tha ikut aja. Kamu gak bakal nyesel.” Katanya setengah memaksa.

“ya ya”. Jawabku pasrah.

Sore itu aku segera mandi. Akupun memilih baju yang sesuai. Setelah lama memilih akhirnya ... ahhaa ada baju yang cocok untuk pergi malem ini. Gatau kenapa rasanya aku ingin berdandan secantik mungkin malam ini. Rasanya seneeeeeennnggg bgt.


Set 7 malem Aryapun sampe dirumahku. Sebelum menemui Arya tak lupa aku menyisir rambutku, Dan berkaca. Lalu akupun turun menemui Arya.

“mah Nisa pergi dulu ya?” pamitku

“hati-hati ya sayang, jangan pulang malem-malem.” Kata mamahku.

“iya mah.”

“permisi tante.” Pamit Arya.

Dan akhirnya Arya mengajakku pergi ke sebuah taman yang cukup bagus. Pemandangannya juga indah. Banyak bunga disana. Tapi setelah sampai di tepi kolam air mancur, aku bingung. Ada lilin berjejer-jejer mengambang di atas air, bertuliskan AKU SAYANG KAMU ANISA.

“maksutnya apa ?” tanyaku kaget.

“aku sayang sama kamu Anisa, sejak pertama aku liat kamu. Kamu mau jadi pacar aku?

hhhaaa Arya nembak aku ?? aku kaget tak karuan.

suasana hening sajenak. Karena aku memang bingung harus jawab apa.

“nis kok diem sih?” tanyanya.

“maaf Arya. Aku bingung harus jawab apa. Aku gabisa jawab sekarang. Maaf ya.” Jawabku bingung.

“terus kapan kamu mau jawab ?”

“minggu depan. Kasih aku waktu satu minggu buat ngeyakinin hati aku. Jujur aku belum pernah jatuh cinta. Jadi aku masih bingung sama perasaanku ini.”

“okee. Yaudah kita cari maem yuk.”

“iya.”


Setelah makan malam aku diantar pulang oleh Arya. Raut wajah Arya berbeda, tidak seperti saat dia menjemputku tadi, penuh semangat. Mungkin karna aku tidak langsung menjawab pertanyaannya tadi.

“tante Arya langsung pulang ya ?” pamitnya kepada mamahku.

“hati-hati ya nak Arya.”

“iya tante.”


Seminggu kemudian, Arya pun menagih jawaban kepadaku. Dan akupun menjawab “iya” karena aku juga mencintainya.

“makasih ya nisa. Kamu udah percaya sama aku. Aku akan selalu sayang sama kamu.” Katanya dengan rasa tidak percaya.

“aku juga sayang sama kamu.”

Pagi-pagi sekali aku bangun. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan Arya, kekasihku. Hari ini aku sangat semangat pergi ke sekolah. Sampe didepan kelas ternyata Arya sudah menungguku di depan pintu kelas.

“pagi cantik.” Sambut Arya dengan memberiku setangkai bunga mawar merah.

“pagi juga.” Jawabku dengan tersenyum.

Hingga setiap hari dia menyapaku seperti itu. Kadang dia bawa coklat, kadang juga kue. Yang pasti aku sangat mencintainya.

2 minggu setelah jadian sama dia. Pagi itu Arya ingin menjemputku. Tapi dia malah kesiangan.

“udah hampir jam 7 nih. Mana sih Arya ?” gerutuku.

“nisa kok belum berangkat juga sih ? sini bareng papah aja.” Bujuk papahku.

“iya deh.” Jawabku terpaksa dari pada telat nungguin Arya gak dateng-dateng.

Di tengah perjalanan aku melihat orang bergerumun.

“kelihatannya baru ada kecelakaan.” Kata papahku.

“yaudah pah langsung berangkat aja yuk. Aku udah telat tau’.”

Sesampainya di sekolah. Ternyata aku telat. Setelah sekian lama aku tidak merasakan telat. Kali ini aku merasakannya lagi. Tapi selama dihukum aku selalu melihat ke arah pintu gerbang. Berharap ada Arya. Tetapi hasilnya nihil. Apa dia ga berangkat sekolah ya ? ato dia lagi sakit.

Setelah hukuman selesai aku mengambil handphoneku di dalam tas. Dan mengetik sms untuk Arya.

“kamu kenapa ga berangkat sekolah ? kamu sakit ?”

Istirahat sekolah aku mengecek handphoneku. Ternyata tidak ada balasan dari Arya. Aku mulai khawatir sama dia.

Sesampainya dirumah hapeku bergetar. Berarti itu tandanya ada sms. Dan aku berharap itu sms dari Arya. Aku buka isi sms itu. Ternyata bukan dari Arya, tetapi dari Anggi sahabatku.

“nis, Arya kecelakaan.” Isi sms itu

Aku kaget dengan rasa tidak percaya. Aku segera bergegas ke rumah sakit bersama Anggi. Disana sudah banyak keluarga Arya. Mereka sangat khawatir , begitu juga diriku. Tak lama kemudian dokterpun keluar dari kamar Arya. Wajahnya sangat kecewa, oh Tuhan.. semoga tidak terjadi apa-apa dengan Arya. Tapi Tuhan berkehendak lain.

“maaf bapak dan ibu, anak bapak sudah kembali kepada yang diatas” kata dokter itu.

Air mataku menetes sangat derasnya. Aku tidak percaya orang yang aku cintai meninggalkan aku begitu saja.

“sabar ya nis.” Kata anggi memelukku.

Saat pemakaman, itu kali terakhir aku melihat wajahnya. Wajah seseorang yang selalu menyapaku di pagi hari. Wajah seseorang yang selalu membuatku merasa bahagia. Wajah seseorang yang sangat aku sayangi.

“arya, aku tahu kamu sudah bahagia disana. Semoga kamu selalu mendapat tempat disisiNya. Doaku selalu menyertaimu. Aku sayang kamu.”

Pagi hari saat sampai disekolah,rasanya beda. Biasanya ada seseorang yang menyapaku dengan setangkai bunga, ataupuun dengan coklat. Tapi sekarang udah ga ada lagi. Aku kangen kamu Arya.

Pulang sekolah aku pergi ke taman dimana disitulah Arya menyatakan cintanya kepadaku. Dan lagi air mataku pun kembali menetes. Aku ingin memutar waktu saat-saat bersama Arya dulu. Udah seminggu Arya ga ada di sampingku. Dan selamanya sampai aku juga kembali ke yang di Atas.

Semenjak kepergian Arya, aku memutuskan untuk menyelesaikan sekolahku ke luar negeri. Setalah ujian akhir , akupun berangkat ke Australia untukmelanjutkan cita-citaku menjadi seorang Dokter.

5 tahun kemudian aku pulang ke indonesia. Juga dengan membawa gelar sarjana dokter. Sampai saat ini aku belum mempunyai pengganti Arya. Tapi sekarang aku mulai membuka hati. Meskipun aku belum bisa melupakan Arya, Cinta Pertamaku. 






PROFIL PENULIS
Nama TRI KURNIA WATi
Kelas  : IX-D
Powered By Facebook